Senin, 16 Juli 2012

Sistem Boarding untuk Anak SD, Efektifkah?


Akhir-akhir ini pendidikan berbasis asrama makin marak digencarkan. Terutama pada sekolah-sekolah swasta yang menawarkan berbagai bentuk fasilitas yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tujuan didirikan sekolah tersebut, salah satunya adalah dengan mendirikan asrama bagi siswa-siswinya. Keberadaan asrama pada suatu area atau kawasan pendidikan adalah dengan tujuan agar kegiatan siswa di luar jam sekolah dapat terkontrol serta dapat dijadikan suatu pembelajaran kemasyarakatan.


Perkembangan boarding school yang begitu cepat juga menjadikan banyak sekolah-sekolah di Indonesia baik sekolah umum, agama, ataupun yang lainnya mulai menerapkan sistem ini. Tak terkecuali sistem boarding school bagi anak-anak SD. Terlepas dari tujuan diadakannya boarding school, sistem ini ternyata mengundang berbagai macam presepsi dari berbagai kalangan jika harus diterapkan pada anak-anak SD. Namun, alangkah bijaknya jika opini tersebut juga diungkapkan dengan kalimat yang baik seperti yang akan saya ungkapkan disini.

Boarding school merupakan salah satu alternatif pendidikan yang ditawarkan untuk mencetak SDM yang berkualitas. Sistem ini kini bukan hanya dilakukan di lingkungan pondok pesantren, bahkan yayasan pendidikan formal dan non formal pun mulai menerapkannya. Belajar di sekolah berasrama memang berbeda dengan belajar di sekolah biasa. Saya pribadi sudah pernah merasakannya secara langsung. Pada umumnya, tujuan orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah berasrama adalah agar anak lebih mandiri, menggunakan waktu luangnya sebaik mungkin, terhindar dari salah pergaulan dan disiplin. Namun apakah ini juga berlaku bagi anak-anak SD? Bukankah mereka memang anak-anak yang masih ingin merasakan hidup di alam bebas dan bercengkerama dengan keluarga?

Berangkat dari pengalaman saya dulu sewaktu tinggal di sekolah berasrama, disana saya juga satu atap dengan anak-anak SD yang notabenenya ternyata memang bukan keinginan mereka untuk tinggal di asrama, dengan kata lain karena paksaan orang tua. Alhasil, ketika si anak memang sejatinya tidak menginginkan tinggal di asrama, mereka hanya menjadi beban bagi orang lain. Sebagai contoh, ketika mereka menangis dan minta pulang di saat malam hari karena tidak bisa tidur, semua penghuni asrama yang lain merasa terganggu dan bahkan terkadang ada yang mengumpat dan bertindak kasar kepada mereka. Selain itu, peraturan-peraturan yang berlaku di suatu asrama juga harus diperhatikan. Dimana terkadang yang namanya anak tidak begitu memahami hal tersebut. Meskipun memang di asrama ada yang mengarahkan dan merawat anak-anak, tapi saya yakin hal tersebut tidak akan secara maksimal benar-benar mengontrol anak-anak. Terlebih jika jumlah perawat atau pengurus asrama tidak seimbang dengan jumlah anak SD yang harus diurus. Selain itu juga adanya pengurus tidak mampu benar-benar memposisikan dirinya sebagai pengganti sementara orang tua dari anak-anak tersebut. Pastilah yang diinginkan anak seumuran mereka adalah kasih sayang orang tua yang tidak mungkin digantikan dengan yang lain. Setega-teganya orang tua untuk memarahi anak pasti mereka masih menyayanginya dan masih dapat menahan amarahnya, lain halnya dengan pengurus atau perawat asrama yang notabene bukan orang tua mereka yang pastu tidak dapat benar-benar memberikan kasih sayang dan mencurahkan perhatian kepada anak. Hal ini sebenarnya sering kita jumpai di media massa tentang tindakan kriminal dan kekerasan yang dilakukan oleh pembantu rumah tangga kepada anak majikan yang mungkin tidak bisa ia redamkan tangisannya atau hal-hal sepele lainnya yang dilakukan sang anak yang memicu kekesalan pembantu.

Dampak-dampak ke depannya ketika memasukkan seorang anak SD ke dalam sekolah berasrama adalah karakter mandiri yang terlewat dalam menetap dalam pikiran anak yang ditakutkan ketika remaja benar-benar tidak dapat lagi menerima nasehat-nasehat atau saran dari orang tua karena menganggap dirinya sudah mandiri dan tidak membutuhkan nasehat dari orang tua. Selain itu juga, tidak bisa dijamin ketika anak masuk sekolah berasrama dapat terhindar dari salah pergaulan. Buktinya, ketika anak keluar dari asrama justru ia seakan-akan seorang tahanan yang baru keluar dari penjara dan melakukan apa saja yang tidak dapat dilakukannya di dalam asrama.




Bagi saya pribadi sih memang tidak ada salahnya untuk memberikan yang terbaik bagi masa depan anak, terlepas apakah dimasukkan ke dalam sekolah berasrama atau tidak. Tapi, yang perlu dipertimbangkan lagi adalah kemauan dan keadaan dari anak itu sendiri. Ketika anak memang sudah tidak ingin untuk dimasukkan ke asrama, maka jangan sampai memasukkannya ke dalam asrama, karena ditakutkan justru akan menimbulkan keonaran di asrama sebagai bentuk pelampiasannya. Selain itu, juga harus benar-benar mengetahui segala sesuatu tentang sekolah berasrama yang akan dijadikan tempat anak untuk belajar dan tinggal di sana. Bagaimana peraturan dan tata tertib disana, siapa saja yang akan menjadi pendamping anak sehari-harinya, bagaimana jadwal aktivitas sehari-hari anak, bagaimana keadaan lingkungannya, kebersihannya, dan juga yang lainnya. Satu informasi saja tidak cukup, mengingat betapa berharganya buah hati kita semua. Jangan malu dikatakan rewel atau cerewet lantaran banyak bertanya, karena itu menunjukkan betapa sayangnya kita pada anak. Jadi, semuanya harus benar-benar dipikirkan secara matang demi kesejahteraan anak-anak dan juga masa depannya. Satu kalimat penutup dari saya, tidak ada yang salah dengan sistem boarding school , bahkan saya sendiri bangga karena merupakan seorang lulusan dari sana, tapi yang perlu ditinjau kembali adalah apakah boarding school tersebut mampu menjalankan perannya secara profesional atau tidak.


0 komentar:

Posting Komentar